Aku paham, kelak waktu akan menghapus namanya dalam hatiku
Kelak, semua kenangan bersamanya akan terbang sediki demi sedikit
Semua hal indah, semua luka, semua rencana akan masa depan terpaksa ku kubur dalam2.
Aku tau betul, keputusanku saat itu sangat-sangat membuat luka dihatinya, begitupun dihatiku. Memaksa hati untuk melawan arah ketika bersamanya terasa tidak memberikan bahagia lagi.
Aku paham betul kondisi saat itu, saat dimana hati masih sangat menginginkannya namun hari2 bersama kian terasa berat dan penuh luka. Dia yang selalu memberikan rasa kecewa, dia yang selalu menjadi penyebab air mata, dia yang tidak pernah perduli akan bahagiaku, namun dia yang paling merasa tersakiti saat kuputuskan untuk usai
Tepat satu tahun lalu, aku diuji dengan dua pilihan. Bertahan atau melepaskan. Begitu berat rasanya. Apa harus aku bertahan dengan seseorang yang hanya bisa memberikan luka ? Atau haruska aku melepaskan dan menggenggam tangan pria lain menuju akad? Kepada siapa restu Allah berikan?
Seseorang dengan pandangan sederhana datang menghampiri dengan niat tulusnya, menuju restu Allah, menuju kehidupan pernikahan. Bagaimana aku bisa bersama dengannya jika dengan rasa penuh kesadaran, seluruh hati dan fikiranku masih dimiliki oleh pemilik dulunya.
Tidak pernah terbayangkan sebelumnya, kisah percintaan yang aku dambakan berakhir begitu saja, setelah perjalanan panjang bersamanya selama tiga tahun. Namun, saat masa itu datang, aku disadarkan bahwa semakin dewasa kita, yang dibutuhkan bukan lagi perihal cinta, ataupun perihal sayang, lebih ke kepastian, pembuktian dan keberanian.
Berani untuk melangkah, berani untuk berkata iya, berani untuk menggenggam erat dalam mempertahankan, berani untuk memperkenalkan bahwa inilah pilihanku. Semua hal yang kuharapkan tidak ada padanya. Dia yang selalu menunda, dia yang selalu menghindar ketika menyangkut masa depan dan dia yang tidak pernah berani menggenggam dalam pandangan orangtuanya. Dia selalu menghadirkan rasa bertanya, akan kemana arah hubungan.
Yah, aku memutuskan untuk usai, melepaskan genggamannya dan menggenggam lelaki yang lebih siap menyambut masa depan bersama. Lelaki yang belum begitu kukenal baik. Ibaratnya, seperti bermain lotre. Jika aku beruntung maka aku akan bahagia dan jika tidak maka kehidupan penuh luka akan kembali menghampiri.
Kala itu, hubunganku dengannya benar2 berakhir. Seperti kertas yang dibakar api, seperti debu yang ditiup angin, benar2 telah usai dan tidak akan kembali.
Masa awal pernikahan, cobaan seperti datang silih berganti. Kehidupan pernikahan tidak semudah yang kubayangkan ternyata. Cerita
miring banyak terdengar ditelingaku, perihal aku yang meninggalkan dia, perihal aku yang menyakiti dia, perihal aku yang melihat dia dari sekedar materi, banyak sekali. Tidak perlu kujelaskan alasan kami berpisah, lebih tepatnya alasan aku memilih usai.
Ada satu kalimat yang bisa kukutip dari cerita hidup seseorang.
“Jika masih saling sayang, mengapa memilih usai? . . . Suatu saat, kalian akan sampai pada titik dimana kalian sadar, untuk apa saling sayang jika juga selalu saling menyakiti”
Kami berpisah bukan karena tidak lagi saling sayang, tidak. Aku menyadari, semakin kesimi hubungan yang harusnya semakin saling menguatkan justru berbalik semakin melemahkan. Dua org yang saling menyayangi namun selalu saling merasa tersakiti.
Mungkin seperti itulah cara Allah menjawab doa kami masing2. Aku dan dia, diciptakan untuk saling bersama namun dengan jangka waktu tertentu. Dia dihadirkan dalam hidupku hanya untuk mengajarkan arti kehidupan sebelum ibadah terpanjang dimulai.
Aku berdoa, semoga Allah selalu melindungi dia.
Komentar
Posting Komentar